Ibunda,
Lutfia, bukan siapa-siapa. Tapi dia
menjadi seseorang yang akan disebut namanya di surga kelak oleh Yusuf, anak
tercintanya. Bagaimana tidak, selama dua hari Lutfia menggendong anaknya yang
berusia belasan tahun mengelilingi kota Makassar untuk mencari bantuan,
sumbangan dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan
mengais kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah
uang untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak
lahir. Tubuh Yusuf, anak tercintanya yang seberat lebih dari 40 kg tidak
membuat lelah kaki Lutfia, juga tidak menghentikan langkahnya untuk terus
menyusuri kota. Sementara Yusuf yang cacat, tidak akan pernah mengerti mengapa
ibunya membawanya pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang
sengatan terik matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi
kerongkongannya yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.
Penggalan kisah di atas ditulis oleh
Bayu gautama di situs eramuslim.com. Kata-katanya sederhana tapi
mengingatkan kita kepada makna luar biasa akan kehadiran seorang manusia yang
bernama .. ibunda.
Kita terlahir sebagai bayi-bayi yang
lemah dengan jutaan beban yang siap dilemparkan ke pundak ibunda. Kita pun
dibesarkan dalam dekapan kasih sayangnya yang membuncah tanpa henti dengan
deraan tingkah polah tidak mengenakkan dari kita, buah hatinya. Semua itu
dilalui oleh ibunda dengan tabah dan penuh kesabaran.
Seorang ibu, bagaimanapun latar
belakangnya, b agaimanapun sifatnya, tetaplah seorang ibu. Ibu adalah wanita
yang dibekali Allah SWT kekuatan yang luar biasa untuk memikul beban dunia di
pundaknya sekaligus kerapuhan yang begitu dinikmatinya.
Kekuatan untuk beban dunia? Ya, karena
di tangan ibundalah hitam putihnya kualitas kita para anak bangsa
dipertaruhkan. Generasi penerus yang rapuh tidak akan sanggup memberikan
pencerahan bagi kehidupan umat. Hanya generasi yang cerdas sekaligus bertakwa
yang akan mampu membangkitkan umat dari tidurnya yang lama dan ibundalah
penentunya.
Nikmatnya kerapuhan? Ibunda tetaplah
manusia. Dia bisa merasakan kebahagiaan juga kesedihan, kesukacitaan dan
penderitaan. Ibunda tetaplah wanita. Sekuat apa pun dia, ibunda bukanlah karang
yang tak bisa mendengar, melihat, dan merasa. Namun, dia bisa menikmati itu
semua diiringi lantunan zikir dan untaian doa dengan sesekali mengurai air mata
sebagai pelipur lara.
Oleh karena itulah, untaian kata “Surga di bawah telapak kaki ibu” sudah sepatutnya diberikan kepada ibunda. Surga adalah tujuan akhir yang diidamkan seluruh manusia. Di sanalah puncak segala kenikmatan dapat dirasakan oleh orang-orang yang beriman, dan ibu dapat menjadi lumbung amal saleh dan tiket ke surga bagi anak-anaknya jika mampu menjadi penopang bagi kerapuhannya dan pelipur bagi dukanya.
Kisah para ibu kita memang tak sehebat
Khadijah r.a. atau Aisyah r.a dalam sejarah dunia. Dia pun bukan Kartini yang
mampu menghadirkan inspirasi bagi perjuangan wanita senusantara. Namun, ibunda
memiliki kisah hebat bagi anak-anaknya tentang hidup dan perjuangannya. Dia pun
mampu menjadi inspirator bagi buah hatinya dalam menjalani kehidupan dengan
segala godaan yang menerpa. Dia tetap akan menjadi sosok yang istimewa karena
hanya di telapak kakinya kita bisa temukan surga. Sekian.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar